Friday 17 June 2011

KEUTAMAAN DIAM DARI BAHAYA LISAN

Lisan adalah merupakan salah satu kenikmatan besar yang dianugerahkan Alloh Swt kepada manusia, padanya terdapat kebaikan yang banyak dan kemanfaatan yang luas bagi siapa yang menjaganya dengan baik dan mempergunakannya sebagaimana diharapkan syari’at.
 

Dan padanya pula terdapat kejelekan yang banyak dan bahaya yang besar bagi siapa yang meremehkannya (menelantarkannya) lalu digunakannya pada jalan atau tempat yang tidak semestinya.


Maka Rasulullah SAW telah menasehati kita agar menjaga lisan dengan baik, minimal dengan jalan tidak banyak berbicara, selagi tidak bermanfaat atau tidak mengandung kebaikan, beliau SAW bersabda (yang artinya):

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah“. (HR. Bukhori Muslim)

Imam Hasan Al Bashri ra berkata :

“Sesungguhnya lidah orang mukmin berada di belakang hatinya, apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka dia merenungkan dengan hatinya terlebih dahulu, kemudian lidahnya menunaikannya. Sedangkan lidah orang munafik berada di depan hatinya, apabila menginginkan sesuatu maka dia
mengutamakan lidahnya daripada memikirkan dulu dengan hatinya.“


Imam Al Ghazali ra dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin berkata :

“Ketahuilah bahwa lidah bahayanya sangat besar, sedikit orang yang selamat darinya, kecuali dengan banyak diam.“
 

Oleh sebab itu, sang pembawa syari’at memuji dan menganjurkan diam, Baginda Rosulullloh Muhammad SAW bersabda (yang artinya) :

“Barang siapa yang diam, pasti dia selamat.“ (HR. At-Tirmidzi)


Beliau Rosululloh Saw juga bersabda (yang artinya):

“Siapa yang menahan lidahnya pasti Allah menutupi auratnya, siapa yang dapat menahan amarahnya pasti Allah melindunginya dari siksaNya, dan siapa meminta ampun kepada Allah, Dia pasti menerima permohonan ampunannya “ (HR. Ibnu Abi Dunya).


Satu-satunya cara ampuh menyelamatkan diri dari bahaya lisan adalah diam, kecuali dari hal yang baik dan mengundang kebaikan. Para 'Ulama Salafus Soleh rodhiyallohu ta'ala 'anhum pendahulu kita lebih banyak diam daripada banyak berbicara. Sebab dengan diam akan mengurangi dosa dan bahaya yang timbul akibat lidah. Tetapi jika hak-hak Alloh Swt dilecehkan, syariat dihina dan Rosululloh Saw direndahkan, maka mereka tidak akan tinggal diam. Mereka akan berbicara dengan lantang bila perlu sekalipun di depan pemimpin yang kejam, sekalipun nyawa adalah taruhannya!

Mari kita lihat bagaimana Imam Syafi’i ra yang tidak berdiam diri, manakala melihat sang sultan berbuat ketidak-adilan, dengan tegas beliau berbicara, menasehati si pemimpin itu. Tetapi jika ditanyakan sesuatu yang sekiranya tidak perlu jawaban (sebab telah jelas duduk persoalannya), maka beliau memilih diam, tidak menjawab. Beliau senantiasa berupaya untuk memposisikan sesuatu pada tempat dan waktu yang layak dan tepat secara proporsional.